Kamis, 15 Maret 2012

PENELITIAN TENTANG KUNYIT

Prof. Dr. Raharja, Desember 2010






Di Indonesia banyak sekali tanaman yang dapat digunakan sebagai obat tradisional. Salah satu jenis tanaman yang dapat digunakan untuk pengobatan penyakit diare adalah kunyit (Curcuma domestica Val.). Rimpang kunyit digunakan secara tradisional untuk penambah nafsu makan, peluruh empedu, obat  Di Indonesia banyak sekali tanaman yang dapat digunakan sebagai obat tradisional. Salah satu jenis tanaman yang dapat digunakan untuk pengobatan penyakit diare adalah kunyit (Curcuma domestica Val.). Rimpang kunyit digunakan secara tradisional untuk penambah nafsu makan, peluruh empedu, obat luka dan gatal, antiradang, sesak nafas, antidiare dan merangsang keluarnya angin perut. Sebagai obat luar digunakan sebagai lulur kecantikan dan kosmetika. Secara umum rimpang kunyit digunakan untuk stimulansia, pemberi warna masakan, dan minuman serta digunakan sebagai bumbu dapur (Sudarsono dkk., 1996). Adapun kandungan utama kunyit yaitu kurkumin dan minyak atsiri berfungsi sebagai antioksidan, antimikroba, antikolesterol, antiHIV dan antitumor. Ekstrak kurkuminnya juga dapat mencegah kerusakan hati yang diinduksi alkohol pada tikus, sedangkan ekstrak kurkumanya dapat mencegah hepatotoksisitas dan dapat menurunkan semua komposisi lipid (trigliserida, pospolipid dan kolesterol) pada aorta dan kadar trigliserida pada serum secara ex vivo. Rimpang kunyit dapat juga digunakan sebagai obat analgetik dan anti inflamasi (Hargono, 2000).


Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hastuti (2007) ekstrak air rimpang kunyit dengan konsentrasi 15% memiliki efek antidiare yang signifikan pada tikus putih jantan dewasa galur Charles River yang telah diinduksi oleum ricini. Dengan mengacu pada penelitian yang sudah ada, dilakukan penelitian lanjutan, pada penelitian ini rimpang kunyit diuji efek antidiarenya dengan pelarut yang berbeda, karena dimungkinkan senyawa kimia rimpang kunyit yang berpotensi sebagai antidiare tersebut juga dapat tersari dengan pelarut etanol 96% sehingga diharapkan ekstrak etanol rimpang kunyit ini juga mempunyai efek antidiare dengan menggunakan hewan uji mencit


Kandungan senyawa kimia yang terdapat dalam rimpang kunyit antara lain minyak atsiri 2-5 %, kurkuminoid, pati, tanin, damar (Prawiro, 1977). Tanin bersifat mengendapkan zat putih telur dan berkhasiat sebagai adstringens, yaitu dapat meringankan diare dengan menciutkan selaput lendir usus (Tjay dan Rahardja, 2002). Tanin tidak larut dalam pelarut organik non polar seperti benzene atau kloroform, tetapi larut dalam air terutama air panas akan membentuk
larutan koloid bukan larutan sebenarnya (Robinson, 1995). Tanin juga dapat larut dalam etanol 96% (Santoso, 1993). 





Hastuti telah melakukan penelitian (1997) tentang uji aktivitas infus rimpang kunyit sebagai antidiare dengan menggunakan metode “Castor oil–induced diarrhea”, atau minyak jarak sebagai penyebab diare pada tikus putih dengan hasil bahwa infus rimpang kunyit dengan konsentrasi 15% mempunyai khasiat sebagai antidiare (Tjay dan Rahardja, 2002).

Penelitian Suparna (2008) yang berjudul “Gambaran pengetahuan orang tua tentang manfaat kunyit bagi kesehatan keluarga di Kelurahan Sukarasa Kecamatan Sukasari Bandung” yang dilakukan pada 100 orang responden, dimana angka responden yang berpengetahuan kurang tentang manfaat kunyit bagi kesehatan keluarga oleh 58 responden (58,00%). Kurangnya pengetahuan tersebut salah satunya disebabkan oleh kurang terpaparnya informasi dan rendahnya pendidikan responden.

Hastuti telah melakukan penelitian (1997) tentang uji aktivitas infus rimpang kunyit sebagai antidiare dengan menggunakan metode “Castor oil–induced diarrhea”, atau minyak jarak sebagai penyebab diare pada tikus putih dengan hasil bahwa infus rimpang kunyit dengan konsentrasi 15% mempunyai khasiat sebagai antidiare (Tjay dan Rahardja, 2002)



Notoatmodjo (2003), mengatakan bahwa pemahaman dapat dipengaruhi oleh pengalaman hidup seseorang, baik pengalaman yang didapat secara langsung maupun tidak langsung. Umur identik dengan pengalaman yang dimiliki dan peneliti berpendapat bahwa dengan bertambahnya umur maka pemahaman seseorang akan bertambah, tetapi bila tidak didukung oleh faktor seperti pengalaman hidup dengan kecepatan dalam menerima informasi dari sumber informasi yang menarik maka tingginya tingkat umur seseorang tidak menjamin baiknya pemahaman seseorang.
Siregar (2007) yang mengatakan bahwa penafsiran seseorang bukan hanya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, karena pemahaman tidak hanya didapat dari bangku sekolah, namun pemahaman lebih banyak diperoleh dari pengalaman hidup.
Menurut Michael (2009) dalam bukunya yang berjudul “What Could He Be Thingking”  menjelaskan bahwa ada perbedaan antara otak laki- laki dan perempuan. Secara garis besar perbedaan yang dikatakan dalam buku tersebut adalah pusat memori pada otak perempuan lebih besar dari otak laki-laki, akibatnya kaum perempuan memiliki daya ingat yang kuat dari laki-laki dalam menerima atau mendapat informasi dari orang lain.
Sondang (2005) mengatakan bahwa orang yang berpendidikan lebih tinggi punya kesempatan yang luas untuk terpapar berbagai informasi dan akan menjadi lebih mempunyai pemahaman baik dibandingkan dengan mereka yang tidak berpendidikan tinggi. Dan Notoatmodjo (2003) berpendapat bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula intelektualnya. Peneliti berpendapat bahwa tingkat pendidikan menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami sesuatu yang mereka peroleh.
Pemahaman yang dimiliki seseorang dapat dipengaruhi seberapa banyak informasi yang diperolehnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Pemahaman juga dapat dipengaruhi oleh kecepatan seseorang dalam menerima informasi yang diperoleh, sehingga semakin banyak seseorang memperoleh informasi, maka semakin baiklah pemahamannya, sebaliknya semakin kurang informasi yang diperoleh, maka semakin kurang pemahamannya. Informasi tersebut dapat diperoleh melalui media massa dan elektronik serta tenaga kesehatan dan penyuluhan-penyuluhan kesehatan (Notoatmodjo, 2003).
Suryanto (2007), mengatakan bahwa informasi adalah salah satu organ pembentuk pemahaman/penafsiran dan memegang peranan besar dalam membangun pemahaman. Semakin banyak seseorang memperoleh informasi, maka semakin baiklah pemahamannya, sebaliknya semakin kurang informasi yang diperoleh maka semakin kurang pemahamannnya.
Modlor (1998), “Hubungan informasi dengan Pemahaman” yang dikutip Notoatmodjo (2003), mengatakan bahwa pemahaman juga terbentuk dari pengalaman informasi-informasi yang didapat di pendidikan non formal seperti membaca buku, koran, majalah, serta televisi. Jadi pemahaman dapat dipengaruhi oleh pengakuan dan informasi.
Luhan (2009), mengatakan bahwa media massa adalah suatu jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah masyarakat melalui media cetak dan media elektronik sehingga peran informasi yang sama dapat diterima secara serentak.
Achmad (2004), mengatakan  untuk dapat memperoleh suatu pemahaman, kita dapat memperoleh

 
informasi tersebut dari berbagai sumber, terutama dari media massa, misalnya TV, radio, surat kabar, majalah, komputer bahkan dari internet.  


Referensi:
Achmad (2004),

 
informasi dan sumber informasi. Diperoleh dari http://www.comunnication.health.com tanggal 17 Mei 2005.
Mc. Luhan (2009), Sumber Informasi. Diperoleh dari http://www.kesehatan-lingkungan.com tanggal 17 Mei 2010.

Michael (2009) “What Could He Be Thingking” Diperoleh dari http://www.dunia.kesehatan.com tanggal 18 Juni 2010.
Notoatmodjo (2003), pemahaman dan pengalaman hidup. Diperoleh dari http://www.medicastore.com tanggal 20 Maret 2004.

Siregar (2007). penafsiran dan pendidikan. Diperoleh dari http://www.pendidikan.kesehatan.com tanggal 10 Mei 2008.

Sondang (2005) Pendidikan dan Informasi. Diperoleh dari http://www.kemenkes.ri.com tanggal 26 Maret 2006.
Suryanto (2007). informasi Diperoleh dari http://www.kesehatan-lingkungan.com tanggal 17 Maret 2008.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar